Challenge
Sebagian besar pemerintah kabupaten di Indonesia menghadapi kenyataan bahwa porsi terbesar anggaran kesehatan daerah masih terserap untuk belanja rutin, seperti gaji pegawai, biaya operasional puskesmas dan pemeliharaan infrastruktur dasar. Pola alokasi ini mencerminkan pendekatan fiskal yang bersifat administratif dan jangka pendek, yang lebih berfokus pada menjaga keberlangsungan kegiatan rutin ketimbang menciptakan dampak kesehatan yang lebih luas dan berkelanjutan. Akibatnya, ruang fiskal yang tersedia untuk membiayai program seperti peningkatan mutu layanan kesehatan primer, penguatan sistem rujukan, pengadaan teknologi medis modern, atau program promotif dan preventif menjadi sangat terbatas.
Tekanan fiskal akan semakin berat karena kebutuhan pembiayaan kesehatan terus meningkat akibat perubahan struktur demografi yang ditandai dengan bertambahnya populasi lansia, meningkatnya beban penyakit kronis serta tuntutan masyarakat terhadap layanan yang lebih berkualitas telah menciptakan tekanan struktural terhadap keuangan daerah. Dalam situtasi ini, mengandalkan skema pembiayaan konvensional yang bersifat statis dan bergantung pada APBD murni bukan lagi pilihan yang memadai. Pemerintah daerah perlu melakukan paradigm shift, berpindah dari pola penganggaran yang bersifat administratif menuju desain pembiayaan yang bersifat inovatif, dan kolaboratif terhadap kebutuhan kesehatan masyarakat yang dinamis.
Permasalahan sebenarnya tidak hanya terletak pada jumlah dana yang terbatas, tetapi juga pada struktur, desain dan tata kelola pembiayaan yang belum inovatif. Banyak daerah belum secara serius menggali potensi sumber pembiayaan non-tradisional. Peluang seperti kemitraan strategis dengan sektor swasta, kerja sama dengan organisasi filantropi nasional maupun internasional, pemanfaatan hibah pembangunan multilateral, hingga skema pembiayaan berbasis hasil (results based financing) atau investasi berdampak sosial (social impact investment) masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, model-model pembiayaan tersebut tidak hanya dapat memperkuat kapasitas fiskal, tetapi juga menghadirkan fleksibilitas dalam desain intervensi kesehatan.
Discovery
Menjawab tantangan pembiayaan kesehatan daerah tidak dapat lagi dilakukan melalui langkah administratif konvensional. Diperlukan perubahan paradigma dalam tata kelola keuangan daerah, di mana pembiayaan tidak hanya dipandang sebagai kewajiban rutin pemerintah, tetapi sebagai instrumen untuk mengarahkan transformasi sistem kesehatan terutama pada level layanan primer. Pemerintah kabupaten perlu berani melakukan “re-design” sistem pembiayaan kesehatan, mengalihkan fokus dari sekadar penyerapan anggaran ke arah desain anggaran yang bersifat inovatif dan berbasis hasil (outcome-based budgeting). Layanan primer seperti puskesmas, pustu, posyandu adalah ujung tombak sistem kesehatan nasional. Namun, justru pada level inilah ketimpangan pembiayaan paling nyata terjadi. Banyak puskesmas masih beroperasi dengan anggaran terbatas pada gaji pegawai, operasional rutin dan kegiatan kuratif dasar, sementara fungsi promotif, preventif dan penguatan kapasitas tenaga kesehatan sering kali tidak terdanai dengan pasti. Padahal, efektivitas sistem kesehatan secara keseluruhan sangat ditentukan oleh kekuatan layanan primer dalam melakukan deteksi dini, pencegahan penyakit, edukasi masyarakat, serta koordinasi rujukan.
Untuk itu, langkah pertama yang mendesak adalah integrasi perencanaan pembiayaan. Dinas kesehatan tidak dapat bekerja sendiri, perlu kolaborasi erat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Keuangan Daerah (BKD) bahkan dengan sektor lain seperti pendidikan, pertanian dan pemberdayaan masyarakat. Integrasi ini bertujuan menyelaraskan prioritas kesehatan primer dengan arah pembangunan sosial ekonomi kabupaten secara keseluruhan, sehingga anggaran kesehatan tidak lagi berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah.
Dari sisi kebijakan fiskal, sejumlah model inovatif dapat diterapkan untuk memperluas ruang fiskal dan meningkatkan relevansi pembiayaan bagi layanan primer:
Kemitraan Publik Swasta
Kemitraan Publik-Swasta (Public-Private Partnership/PPP) merupakan salah satu strategi paling potensial untuk mengatasi keterbatasan fiskal pemerintah daerah sekaligus mempercepat transformasi layanan kesehatan primer. Dalam pembiayaan kesehatan di tingkat kabupaten, PPP merupakan skema untuk berbagi risiko, keahlian, teknologi dan inovasi untuk mencapai tujuan kesehatan yang lebih luas.
Selama ini, puskesmas sebagai ujung tombak sistem layanan kesehatan sering beroperasi dalam keterbatasan alat, sistem informasi, akses ke layanan spesialis yang, hingga kualitas infrastruktur. Melalui PPP, pemerintah kabupaten dapat mengatasi kendala-kendala ini tanpa harus sepenuhnya bergantung pada APBD. Kolaborasi ini memungkinkan sektor swasta berperan sebagai mitra yang tidak hanya menyediakan pendanaan, tetapi juga membawa pengetahuan teknis, efisiensi operasional dan standar manajemen modern ke dalam sistem kesehatan publik.
Salah satu bentuk konkret PPP adalah pengadaan alat diagnostik dasar melalui kerja sama dengan perusahaan teknologi medis atau distributor peralatan kesehatan. Alih-alih membeli secara konvensional melalui pengadaan tahunan, pemerintah dapat menjalin kemitraan berbasis layanan (service-based model), di mana perusahaan bertanggung jawab atas penyediaan, pemeliharaan dan pembaruan alat, sementara puskesmas membayar biaya layanan secara periodik sesuai pemanfaatan. Pendekatan ini tidak hanya meringankan beban fiskal, tetapi juga menjamin keberlanjutan operasional alat kesehatan.
Contoh lainnya adalah implementasi sistem rekam medis elektronik (Electronic Medical Record/EMR). Banyak puskesmas di daerah masih mengandalkan pencatatan manual yang tidak efisien dan sulit diintegrasikan dengan sistem rujukan rumah sakit. Melalui kemitraan dengan perusahaan teknologi kesehatan (health-tech), pemerintah daerah dapat mempercepat digitalisasi data kesehatan, meningkatkan akurasi pencatatan dan memperkuat koordinasi layanan antar-fasilitas. Model PPP dapat mencakup pengembangan platform, pelatihan tenaga kesehatan, hingga layanan dukungan teknis jangka panjang.
Lebih jauh, PPP juga dapat menjadi stimulus pembangunan telemedicine hub sebagai jembatan antara layanan primer di daerah terpencil dengan tenaga spesialis di rumah sakit rujukan. Dalam model ini, sektor swasta dapat menyediakan perangkat telekonsultasi, infrastruktur jaringan, serta sistem integrasi data, sementara pemerintah daerah menyiapkan regulasi, standar layanan dan mekanisme pembiayaan. Telemedicine menjadi strategi penting untuk mengurangi beban rujukan ke rumah sakit sekunder dan tersier, meningkatkan efisiensi pembiayaan, serta mempercepat penanganan kasus.
Blended Finance
Blended finance merupakan salah satu pendekatan pembiayaan inovatif yang semakin relevan dengan penguatan layanan primer. Berbeda dari model konvensional yang hanya mengandalkan dana publik (APBD/APBN), blended finance memadukan berbagai sumber pembiayaan — mulai dari anggaran pemerintah, dana filantropi, hibah internasional, hingga investasi swasta dalam satu kerangka kolaboratif. Tujuan utamanya bukan hanya menambah besaran dana, tetapi menciptakan efisiensi, keberlanjutan, dan efektivitas pembiayaan untuk menghasilkan dampak kesehatan yang lebih besar.
Di tingkat layanan primer, tantangan yang dihadapi sering kali bersifat multidimensi mulai dari keterbatasan infrastruktur, kurangnya alat kesehatan esensial, rendahnya kapasitas tenaga medis, serta kesenjangan dalam pemanfaatan teknologi. Masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui APBD yang sifatnya terbatas dan sering terserap oleh belanja rutin. Di sinilah blended finance menawarkan solusi dengan cara mendistribusikan peran dan risiko pembiayaan ke berbagai aktor, sekaligus mengarahkan setiap jenis dana sesuai dengan kekuatan dan fokusnya.
Sebagai contoh, dana publik dari APBD dapat difokuskan pada pembiayaan yang bersifat wajib dan berkelanjutan, seperti gaji tenaga kesehatan, biaya operasional puskesmas, dan pembiayaan program wajib nasional (misalnya imunisasi dasar atau deteksi dini penyakit menular). Dana filantropi dari yayasan, lembaga keagamaan, atau organisasi internasional dapat dialokasikan untuk program sosial yang bersifat jangka panjang dan berdampak luas, seperti peningkatan literasi kesehatan masyarakat, pencegahan penyakit kronis atau program gizi ibu dan anak. Sementara itu, investasi swasta dapat diarahkan ke area yang berpotensi menciptakan nilai tambah, seperti pembangunan infrastruktur digital, pengadaan alat diagnostik atau pengembangan layanan berbasis teknologi seperti telemedicine dan mobile health platform.
Pendekatan ini tidak hanya memperluas kapasitas fiskal pemerintah daerah, tetapi juga mendorong munculnya ekosistem yang mempercepat transformasi layanan primer. Dengan berbagi peran sesuai kompetensi, blended finance menciptakan sinergi di mana pemerintah tetap memegang kendali pada fungsi regulasi dan keberlanjutan layanan publik, sektor filantropi berperan dalam menutup kesenjangan sosial dan meningkatkan daya jangkau, sementara sektor swasta membawa inovasi, efisiensi dan teknologi ke dalam sistem kesehatan.
Dana Abadi Kesehatan Daerah
Dana Abadi Kesehatan Daerah (Health Endowment Fund) merupakan salah satu instrumen pembiayaan jangka panjang yang strategis untuk memastikan keberlanjutan program-program kesehatan yang bersifat esensial, lintas generasi dan berdampak luas pada derajat kesehatan masyarakat. Tidak seperti anggaran tahunan yang sifatnya fluktuatif, bergantung pada siklus APBD atau rentan terhadap perubahan politik dan prioritas jangka pendek, dana abadi berfungsi sebagai sumber pendanaan yang stabil, terencana dan berorientasi jangka panjang.
Dalam konteks layanan primer, pendekatan ini sangat perlu karena banyaknya intervensi kesehatan yang krusial yang bersifat multiyears seperti program penurunan stunting, pengendalian penyakit menular, peningkatan layanan kesehatan ibu dan anak atau penguatan sistem surveilans epidemiologis yang membutuhkan pembiayaan yang konsisten dan berkelanjutan selama bertahun-tahun agar dampaknya benar-benar terasa. Namun, program-program ini sering kali terganggu karena ketergantungan pada alokasi APBD tahunan yang tidak menentu. Melalui pembentukan dana abadi, pemerintah daerah dapat mengamankan continuity pembiayaan sekaligus meningkatkan efektivitas jangka panjang dari kebijakan kesehatan.
Dana abadi bekerja dengan prinsip pengelolaan modal dasar yang tidak boleh digunakan (principal), sementara hasil pengembangan atau imbal hasilnya yang dialokasikan secara berkala untuk membiayai program-program kesehatan prioritas. Modal dasar ini dapat bersumber dari berbagai kombinasi seperti alokasi APBD multi-tahun, dana bagi hasil sektor lain (misalnya pajak rokok atau sumber daya alam), hibah filantropi, hingga investasi sosial dari lembaga internasional. Dengan skema yang terencana, modal dasar akan tumbuh melalui instrumen investasi yang aman dan sesuai regulasi (misalnya obligasi pemerintah atau reksa dana pasar uang), sementara hasil pengembangannya menjadi sumber pembiayaan rutin bagi program kesehatan strategis.
Selain itu, dana abadi dapat menjadi alat untuk mendorong inovasi kebijakan kesehatan daerah. Karena sifatnya tidak bergantung pada siklus politik tahunan, pemerintah dapat merancang program eksperimental atau berbasis bukti (evidence-based) yang biasanya sulit dijalankan dengan anggaran tahunan yang ketat. Dengan perencanaan yang baik, dana abadi juga dapat menjadi insentif bagi pemerintah pusat, sektor swasta atau donor internasional untuk bermitra, karena keberlanjutan pembiayaan telah dijamin.
Implementasi dana abadi memerlukan kerangka tata kelola yang kuat dan transparan. Pemerintah daerah perlu membentuk badan pengelola khusus atau unit teknis yang bertanggung jawab atas investasi, akuntabilitas dan pelaporan penggunaan hasil dana. Mekanisme pelaporan yang transparan kepada publik dan legislatif menjadi penting untuk menjaga kepercayaan serta mencegah risiko penyalahgunaan dana.
Social Impact Bonds (SIB)
Social Impact Bonds (SIB) adalah model pembiayaan inovatif yang menggabungkan pendekatan pasar keuangan dengan misi sosial, di mana pemerintah hanya mengeluarkan pembayaran jika hasil yang telah ditargetkan benar-benar tercapai. Dalam konteks layanan kesehatan primer, pendekatan ini dapat menjadi instrumen transformasional yang menggeser paradigma pembiayaan dari sekadar input-based (berdasarkan anggaran yang dihabiskan) menjadi outcome-based (berdasarkan hasil kesehatan nyata yang dicapai).
Dalam skema SIB, investor swasta atau lembaga keuangan sosial mendanai terlebih dahulu program-program kesehatan yang bersifat preventif atau promotif. Contohnya mencakup program deteksi dini hipertensi dan diabetes, skrining kanker serviks secara massal, peningkatan cakupan imunisasi atau pencegahan stunting melalui intervensi gizi terpadu di tingkat puskesmas. Pemerintah baru akan membayar kembali investasi tersebut, sering kali ditambah imbal hasil yang disepakati jika dan hanya jika indikator kesehatan yang ditetapkan dalam kontrak tercapai, seperti peningkatan cakupan imunisasi sebesar 90%, penurunan angka kejadian hipertensi, atau peningkatan deteksi dini kanker serviks dalam populasi tertentu.
Model ini menciptakan pergeseran dalam tata kelola pembiayaan kesehatan. Pertama, risiko pembiayaan tidak lagi sepenuhnya ditanggung pemerintah, karena beban awal dialihkan kepada investor. Kedua, adanya pembayaran berbasis hasil mendorong efisiensi dan inovasi, karena penyedia layanan (pemerintah, swasta, maupun organisasi masyarakat) memiliki insentif untuk merancang intervensi yang benar-benar efektif. Ketiga, SIB membuka pintu bagi aktor non-pemerintah seperti sektor swasta, filantropi dan lembaga keuangan sosial untuk berkontribusi secara signifikan dalam pembiayaan layanan kesehatan primer.
Salah satu kekuatan utama SIB adalah kemampuannya mendorong pembiayaan untuk program yang sebelumnya sulit mendapatkan prioritas anggaran, terutama program preventif yang hasilnya baru terlihat dalam jangka menengah hingga panjang. Misalnya, intervensi gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan atau program skrining penyakit kronis sering kali kalah prioritas dibanding pembiayaan kuratif. Dengan SIB, program-program ini dapat didanai secara berkelanjutan tanpa harus bersaing langsung dengan kebutuhan anggaran rutin.
Keberhasilan SIB sangat bergantung pada desain indikator hasil yang terukur dan realistis. Pemerintah daerah perlu menetapkan metrik yang jelas dan dapat diverifikasi, misalnya penurunan prevalensi tekanan darah tinggi sebesar 15% dalam tiga tahun, peningkatan cakupan imunisasi dasar dari 70% menjadi 95%, atau pengurangan angka rujukan preventable dari puskesmas ke rumah sakit. Indikator yang terukur tidak hanya memastikan akuntabilitas pembayaran, tetapi juga menjadi dasar pembelajaran kebijakan untuk pengembangan program kesehatan berikutnya.
Dengan berbagai desain pembiayaan yang strategis dan inovatif seperti ini, pemerintah daerah dapat keluar dari jebakan belanja rutin dan mulai membangun ekosistem pembiayaan kesehatan primer yang kolaboratif dan berorientasi pada hasil.