Challenge
Ketersediaan energi yang andal dan berkelanjutan merupakan prasyarat mendasar bagi penyelenggaraan layanan kesehatan, khususnya di wilayah terpencil, tertinggal dan kepulauan (3T). Namun hingga kini, keterbatasan akses energi listrik pada fasilitas kesehatan masih menjadi salah satu penghambat utama dalam penyediaan layanan dasar yang bermutu dan berkesinambungan. Sebagian besar fasilitas kesehatan di wilayah 3T masih bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti genset yang tidak hanya memiliki biaya operasional tinggi tetapi juga tidak dapat menjamin kontinuitas pasokan listrik selama 24 jam.
Ketergantungan pada sumber energi konvensional ini berdampak langsung pada berbagai aspek layanan kesehatan. Tanpa pasokan listrik yang stabil, penyimpanan vaksin dalam cold chain system tidak dapat berjalan optimal, peralatan medis penting seperti inkubator dan oksigenator tidak dapat berfungsi penuh dan layanan gawat darurat menjadi terbatas. Kondisi ini mengakibatkan banyak fasilitas kesehatan tidak mampu menyediakan layanan 24 jam, termasuk dalam situasi darurat seperti persalinan atau penanganan kasus neonatal. Selain itu, upaya digitalisasi layanan kesehatan, termasuk implementasi telemedisin dan sistem informasi kesehatan berbasis teknologi juga terhambat karena keterbatasan daya listrik.
Kesenjangan ini semakin memperlebar perbedaan kualitas layanan antara wilayah perkotaan dan wilayah terpencil. Permasalahan ini diperparah oleh belum optimalnya integrasi kebijakan energi dan kesehatan, minimnya investasi energi terbarukan untuk sektor kesehatan, serta keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam merancang perencanaan energi. Jika tidak ada intervensi yang tepat, keterbatasan energi akan terus menjadi hambatan dalam pencapaian agenda pembangunan kesehatan, termasuk target Universal Health Coverage (UHC) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Discovery
Menjawab tantangan tersebut memerlukan pendekatan yang terintegrasi antara sektor energi dan kesehatan, dengan energi terbarukan sebagai fondasi utama transformasi. Pemanfaatan sumber daya seperti tenaga surya, angin atau biomassa menawarkan solusi jangka panjang yang tidak hanya lebih andal, tetapi juga efisien, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Teknologi seperti sistem mikrogrid tenaga surya memungkinkan fasilitas kesehatan di wilayah tanpa jaringan listrik utama tetap memperoleh pasokan listrik yang stabil dan berkesinambungan, sekaligus menekan biaya operasional secara signifikan.
Namun, solusi teknologi saja tidak cukup. Perlu ada desain kebijakan yang mengintegrasikan perencanaan lintas sektor melalui pendekatan whole of government, di mana pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan mitra pembangunan bekerja bersama dalam penyusunan roadmap penyediaan energi untuk fasilitas kesehatan. Skema pembiayaan inovatif seperti blended finance dapat dimanfaatkan untuk mengakselerasi investasi energi terbarukan di sektor publik, sementara kemitraan dengan sektor swasta dan lembaga masyarakat sipil dapat memperluas skala implementasi proyek.
Dalam konteks global, sejumlah inisiatif telah menunjukkan bagaimana energi terbarukan dapat menjadi katalis transformasi sektor kesehatan.
Solar for Health (UNDP)
Ini merupakan inisiatif global yang digagas oleh United Nations Development Programme (UNDP) untuk menjawab kesenjangan mendasar antara akses energi dan ketersediaan layanan kesehatan primer di wilayah terpencil. Program ini lahir dari kesadaran bahwa ketersediaan listrik bukan sekadar isu teknis, melainkan fondasi utama bagi ketahanan sistem kesehatan, terutama di negara-negara berkembang yang menghadapi tantangan geografis, infrastruktur, dan pembiayaan publik. Sejak diluncurkan, Solar for Health telah diimplementasikan di lebih dari 10 negara di Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Pasifik termasuk Zambia, Namibia, Zimbabwe, dan Sudan Selatan dengan tujuan utama menyediakan sistem panel surya yang terintegrasi dengan fasilitas kesehatan di lokasi yang tidak terjangkau jaringan listrik nasional. Program ini tidak hanya berfokus pada penyediaan perangkat, tetapi juga mencakup desain sistem energi sesuai kebutuhan fasilitas, pelatihan teknis bagi tenaga lokal, serta pembentukan mekanisme pemeliharaan jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan operasional.
Dampaknya terbukti signifikan. Di Zambia, misalnya, lebih dari 400 fasilitas kesehatan telah dialiri listrik melalui instalasi panel surya dengan kapasitas terukur, sehingga layanan penting seperti imunisasi, penyimpanan vaksin, persalinan, operasi darurat dan layanan neonatal dapat berjalan tanpa gangguan selama 24 jam. Ketersediaan listrik juga memungkinkan penggunaan peralatan medis esensial seperti inkubator, autoklaf, oksigenator dan perangkat pemantauan vital secara konsisten. Selain itu, fasilitas yang sebelumnya hanya beroperasi pada siang hari kini mampu memperluas jam layanan dan meningkatkan cakupan populasi yang dilayani.
Program ini juga memperlihatkan efek berganda (multiplier effects) terhadap sistem kesehatan secara keseluruhan. Keberadaan energi terbarukan mendorong adopsi teknologi digital kesehatan seperti electronic medical records dan telemedicine, membuka peluang integrasi data kesehatan secara real-time, serta mempercepat sistem pelaporan penyakit menular ke tingkat pusat. Dari sisi sosial-ekonomi, keberhasilan proyek turut menciptakan lapangan kerja baru melalui pelatihan teknisi lokal dan mendorong keterlibatan komunitas dalam pengelolaan sistem energi.
Keunggulan utama Solar for Health terletak pada model implementasinya yang adaptif dan kolaboratif. UNDP mengadopsi pendekatan whole-of-system, menggabungkan peran pemerintah pusat, pemerintah daerah, donor internasional, sektor swasta, dan masyarakat lokal dalam seluruh tahapan, mulai dari perencanaan, pendanaan, hingga pemeliharaan. Di banyak negara, pembiayaan proyek dilakukan melalui skema blended finance yang menggabungkan hibah internasional, dana publik, dan investasi swasta. Hal ini memungkinkan perluasan jangkauan proyek dengan biaya yang lebih efisien dan keberlanjutan yang lebih terjamin.
Dari pengalaman implementasinya, Solar for Health membuktikan bahwa energi terbarukan bukan hanya solusi teknis, tetapi strategi kesehatan publik. Ketersediaan listrik yang stabil dan terbarukan menjadi prasyarat bagi peningkatan mutu layanan, penguatan ketahanan sistem kesehatan, serta percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Model ini menjadi bukti nyata bahwa penyediaan energi yang tepat guna dapat mengubah wajah pelayanan kesehatan primer, dari yang sebelumnya terbatas, tidak konsisten, dan rawan gangguan menjadi layanan yang tangguh, berkelanjutan, dan inklusif.
Powering Health Facilities (WHO & SEforALL)
Ini merupakan sebuah inisiatif kolaboratif global yang digagas oleh World Health Organization (WHO) bersama Sustainable Energy for All (SEforALL) sebagai respons terhadap tantangan struktural yang dihadapi oleh sistem kesehatan di negara-negara berkembang yaitu keterbatasan pasokan listrik yang berkelanjutan untuk fasilitas kesehatan esensial. Program ini bertujuan menyatukan kebutuhan energi dan layanan kesehatan dalam satu kerangka perencanaan pembangunan terpadu, sekaligus menunjukkan bahwa elektrifikasi fasilitas kesehatan bukan hanya persoalan infrastruktur, tetapi juga strategi peningkatan ketahanan sistem kesehatan secara menyeluruh.
Pendekatan yang ditawarkan oleh inisiatif ini bersifat holistik. Alih-alih melihat penyediaan energi sebagai proyek terpisah, Powering Health Facilities mengintegrasikan perencanaan energi ke dalam strategi nasional kesehatan. Hal ini mencakup pemetaan kebutuhan energi di setiap tingkatan fasilitas kesehatan (dari klinik primer hingga rumah sakit rujukan), pengembangan solusi berbasis potensi lokal (seperti PLTS, micro-hydro atau sistem hibrida), serta desain kebijakan lintas sektor yang menyatukan peran kementerian energi, kesehatan, perencanaan pembangunan dan pemerintah daerah.
Salah satu pilar utama dari inisiatif ini adalah model pembiayaan kolaboratif publik-swasta. Powering Health Facilities mempromosikan skema blended finance dan kemitraan strategis antara pemerintah, donor internasional, perusahaan energi dan lembaga filantropi untuk mengakselerasi investasi dalam infrastruktur energi kesehatan. Model ini tidak hanya memperluas kapasitas pembiayaan, tetapi juga menciptakan peluang inovasi dalam desain, teknologi, dan layanan pasokan energi, sehingga biaya jangka panjang dapat ditekan tanpa mengorbankan kualitas dan keandalan.
Elemen lain yang menjadi keunggulan dari program ini adalah pengelolaan berbasis komunitas. Pengalaman implementasi di sejumlah negara di Afrika Timur dan Asia Selatan menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap tahapan dari pembangunan hingga pemeliharaan sistem berkontribusi besar terhadap keberhasilan jangka panjang proyek. Ketika masyarakat dilibatkan sebagai co-owner, bukan sekadar penerima manfaat, tingkat kepemilikan sosial terhadap infrastruktur meningkat, sistem lebih terawat, umur pakai lebih panjang, dan risiko kerusakan atau kelalaian berkurang secara signifikan.
Dampak nyata dari pendekatan ini terlihat dalam peningkatan kapasitas layanan kesehatan dasar. Pasokan listrik yang stabil memungkinkan fasilitas kesehatan untuk menjalankan layanan 24 jam, memastikan rantai dingin vaksin tetap terjaga, mendukung operasi peralatan medis vital, dan memberikan dukungan bagi layanan obstetri maupun neonatal secara konsisten. Lebih jauh lagi, keandalan energi membuka jalan bagi digitalisasi layanan, integrasi data kesehatan, serta pemanfaatan telemedisin untuk memperluas jangkauan layanan ke populasi terpencil.
Lebih dari sekadar proyek elektrifikasi, Powering Health Facilities membuktikan bahwa energi adalah elemen struktural dalam arsitektur sistem kesehatan. Ketika dirancang secara integratif, energi terbarukan menjadi katalis bagi transformasi layanan kesehatan yaitu memperkuat kesiapsiagaan darurat, meningkatkan ketahanan fasilitas terhadap krisis, serta memastikan keberlanjutan layanan vital yang menjadi fondasi Universal Health Coverage (UHC). Pendekatan ini juga berkontribusi langsung terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan 3 (Good Health and Well-Being) dan Tujuan 7 (Affordable and Clean Energy).